
Redesain Surat Suara, Sebuah Ikhtiar menuju Demokrasi Elektoral yang Lebih Berkualitas
2024 akan menjadi sejarah baru bagi bangsa Indonesia, betapa tidak di awal tahun 2024 akan kembali diselenggarakan pesta demokrasi lima tahunan yakni Pemilihan Umum serentak yang secara konstitusional termuat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 22E ayat (2) yang meliputi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang selanjutnya dalam pengelolaan dan mekanisme Pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum_ dan diakhir tahun 2024 akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati maupun Walikota dan Wakil Walikota pertama kali secara serentak di seluruh wilayah di Indonesia pada bulan Nopember 2024 yang secara eksplisit disebutkan dalam bunyi pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Dalam menyongsong tahun politik di 2024, sampai saat ini KPU RI telah menyusun simulasi tahapan yang tengah diajukan untuk disepakati bersama oleh Pemerintah dan DPR RI. Selain menyusun tahapan yang apik karena sangat rentan beririsan waktu dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah, KPU RI terus berikhtiar guna menyuguhkan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan Pemilu agar lebih baik dan berkualitas. Salahsatu dari beberapa upaya pembenahan yang dilakukan KPU RI adalah penyederhanaan atau redesain surat suara yang akan dipergunakan pada Pemilihan Umum 2024 nanti.
Surat suara merupakan salah satu perlengkapan dalam tahapan pemungutan suara. Melalui kertas suara pemiliih menggunakan kedaulatannya untuk memilih pemimpinnya_ dan dari pilihan inilah kemudian yang akan dihitung untuk menentukan siapa pemenang pemilu yang selanjutnya akan diumumkan kepada masyarakat. Ada empat signifikansi dari surat suara, menurut The International IDEA dalam workshop yang berjudul “The Ballot- A simple piece of paper or an instrument of power?” yaitu; (1) sebagai sarana “tatap muka” antara kandidat dan konstituennya (pemilih), sebagai sarana untuk menentukan pilihan politik masyarakat, (3) sebagai dasar untuk menghitung dan mengalokasikan kursi pemenang pemilu, dan (4) sebagai artefak sejarah.
Surat Suara dari Masa ke Masa
Sepanjang sejarah, Bangsa Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum sebanyak 12 kali, yakni pemilu pertama digelar pada tahun 1955, selanjutnya 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 dan pemilu terakhir pada tahun 2019. Surat suara yang dipergunakan sebagai media penghubung antara calon (kandidat) dan pemilih (konstituen) dari Pemilu ke Pemilu mengalami dinamika perubahan seiring mengikuti sistem pemilihan yang dipergunakan pada saat Pemilu.
Pada pemilu pertama tahun 1955, surat suara berisi nomor urut dan gambar partai serta nama calon perseorangan. Metode pemberian suara diberikan dua pilihan yakni dengan cara menusuk (mencoblos) dan atau menulis sesuai dengan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Masing-masing satu surat suara yang dipergunakan pada Pemilihan DPR pada 29 September 1955 dan satu surat suara pada Pemilihan Badan Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955.
Pemilu tahun 1971, surat suara meliputi tiga surat suara yang masing-masing berisi nomor urut, nama dan gambar partai. Metode pemberian suara dengan cara mencoblos untuk pemilihan DPR, DPRD I dan DPRD II sesuai pada Pasal 21 ayat (6) Undang-Undang nomor 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Pun demikian pada pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 suarat suara meliputi nomor urut, nama dan gambar partai. Metode pemberian suara dengan cara yang sama yakni mencoblos.
Pada pemilu 1999, surat suara meliputi tiga surat suara yang terdiri dari pemilihan DPR, DPRD I dan DPRD II, setiap surat suara berisi nomor urut dan gambar partai politik dengan metode pemberian suara menggunakan cara mencoblos sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, sedangkan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti pada pemilu sebelum-sebelumnya yang dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu legislatif.
Pemilu tahun 2004, merupakan sejarah pertama bagi Indonesia pemilihan legislatif meliputi DPR, DPRD Propinisi dan Kabupaten/Kota ditambah dengan hadirnya pemilihan perwakilan daerah yakni DPD yang dipilih langsung oleh rakyat secara bersamaan serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pertama kali dipilih langsung oleh rakyat. Pada Pemilu Legislatif pemilih disuguhkan empat surat suara secara bersamaan meliputi tiga surat suara berisi nomor urut dan gambar partai serta nomor urut dan nama calon untuk Pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta satu surat suara berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk Pemilihan DPD. Sedangkan satu surat suara berisi nomor urut, nama dan foto calon serta gambar partai yang dipergunakan pada waktu yang berbeda pada Pemihan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pemberian suara pada semua jenis pemilihan dengan cara mencoblos mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Pemilu tahun 2009, surat suara sama dengan pemilu 2004, yang membedakan hanya pada pemberian suara dengan cara mencontreng sesuai dengan undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD_ Dan pada Pemilu 2014, sesuai dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, surat suara pada pemilihan legislatif meliputi tiga surat suara berisi nomor urut, nama dan gambar partai serta nomor urut dan nama calon pada pemilihan DPR, DPRD Propinsi DPRD Kabupaten/Kota serta satu surat suara berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk pemilihan DPD. Sedangkan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, satu surat suara berisi nomor urut, nama, foto dan gambar partai. Metode pemberian suara pada pemilu 2014 kembali menggunakan cara mencoblos.
Pada Pemilu 2019, sejarah baru kembali tercatat, pertama kali bagi Indonesia pemilu dengan menggunakan lima surat suara secara serentak dalam waktu yang bersamaan. Surat suara dengan lima jenis pemilihan meliputi tiga surat suara yang berisi nomor urut, nama dan gambar partai serta nomor urut dan nama calon untuk pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; satu surat suara berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk pemilihan DPD dan satu surat suara berisi nomor urut, nama, foto dan gambar partai untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mencobos adalah cara yang dipergunakan pemilih dalam memberikan suaranya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Selain desain surat suara yang mengalami perubahan mengikuti setiap perubahan pada sistem pemilihan. Pemberian suara oleh pemilih yang menggunakan kedaulatannya dibilik suara pun mengalami dinamika dalam sejarah pemilu di Indonesia. Mencoblos, mungkin cara pemberian suara yang lebih familiar dibenak rakyat Indonesia, padahal Indonesia pernah pula menerapkan metode pemberian suara dengan cara “menulis” pada tahun 1955 yang saat itu pemiih diberikan dua pilihan yakni mencoblos atau menulis, pun demikian pada tahun 2009 pernah Pemilu di Indonesia pernah menerapkan metode pemberian suara dengan cara “mencontreng”.
Pilihan Desain Surat Suara
Sedianya ada enam pilihan rancangan penyederhanaan desain surat suara yang dirancang KPU RI sebagai bahan kajian dan simulasi yang kemudian akan diusulkan sebagai pilihan surat suara yang akan dipergunakan pada pemilu 2024. Terakhir, dalam webinar bertajuk “Sosialisasi Rencana Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024” yang diselenggaraan KPU Propinsi Jawa Barat, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaran KPU RI Evi Novida Ginting Manik dalam sosialisasinya menyampaikan bahwa dari hasil kajian mendalam serta masukan dari berbagai unsur, tiga dari enam pilihan rancangan desain surat suara yang menjadi prioritas usulan yakni terdiri dari model 1, model 5 dan model 6.
Model 1 yakni rancangan penyederhanaan surat suara yang menggabungkan lima jenis pemilihan dalam satu surat suara yang berisi nomor urut, nama, foto calon dan gambar partai untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta kolom isian yang memuat nomor urut dan jenis pemilihan yang masing-masing terpisah baik pemilihan Presiden dan wakil Presiden, DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota maupun DPD. Adapun metode pemberian suara dengan cara “menuliskan” nomor urut calon pada kolom yang disediakan.
Sedangkan model 5 yakni penyederhanaan dari lima jenis pemilihan kedalam dua surat suara meliputi empat jenis pemilihan dalam satu surat suara berisi nomor urut, nama, foto calon dan gambar partai untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; no urut dan gambar partai serta nomor urut dan nama calon masing-masing untuk pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan satu suara yang terpisah berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk pemilihan DPD. Metode pemberian suara menggunakan cara “mencoblos” pada nomor urut, nama calon, foto calon, dan atau gambar partai.
Lalu, rancangan surat suara model 6 yakni penyederhanaan dari lima jenis pemilihan menjadi dua surat suara meliputi empat jenis pemilihan dalam satu surat suara yang berisi nomor urut, nama, foto pasangan calon dan gambar partai untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; nomor urut dan gambar partai serta nomor urut calon untuk masing-masing kolom pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk satu surat suara yang terpisah berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk pemilihan DPD. Metode pemberian suara pada model ini dengan cara “mencontreng” pada nomor urut, foto dan atau gambar partai.
Surat Suara pada Pemilu di Negara Lain
Dalam konteks penyederhanaan surat suara, terdapat beberapa negara yang sudah menggunakan surat suara yang menggabungkan beberapa jenis pemilihan. Amerika serikat sebagai negara demokrasi dan berteknologi maju dalam pemilu terakhir pada tahun 2020 menggunakan satu surat suara yang meliputi beberapa jenis pemilhan. selain memilih calon presiden, pemilih juga sekaligus memilih wakil yang menempati Senat, Dewan Perwakilan dan Mahkamah Agung yang ada dalam satu surat suara. Selain sistem pemilihan yang berbeda dengan Indonesia, metode pemberian suara yang digunakan Amerika yakni menggunakan teknologi e-voting, dalam pemberian suaranya pemilih mengisi lingkaran kosong yang terletak disebelah nama kandidat dengan menggunakan pena hitam, dan selanjutnya mesin akan membaca titik hitam serta menghitungnya dengan cepat.
Pada pemilu 2016 di Filipina, pemilih diberikan selembar surat suara yang terdiri dari dua permukaan sebagai media dalam pemberian suaranya. Permukaan pertama berisi pilihan ragam calon personal dan permukaan kedua ragam pilihan partai politik. Filipina menggabungkan sebelas jenis pemilihan kedalam satu surat suara yang meliputi Pemilihan Presiden, Wakil Presiden, Senator, Anggota Perwakilan Rakyat jalur perseorangan, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota Dewan Propinsi, Walikota, Wakil Walikota dan Konselor serta satu jenis pemilihan pada permukaan kedua untuk memilih Lembaga Perwakilan Unsur Partai yang berisi nomor urut dan nama partai. Dalam pemberian suara, pemilih mengisi salahsatu kolom nama kandidat pada surat suara, kemudian surat suara akan dipindai (scan) oleh perangkat computer yang langsung mendata pilihan ke dalam tabulasi data.
Urgensi Redesain Surat Suara
Lantas sejauh mana urgensinya penyederhanaan atau re-desain surat suara yang kemudian akan dipergunakan pada pemilu 2024 nanti. Pemilu 2019, memberikan catatan yang kembali mengingatkan kita tentang bagaimana beban kerja yang tinggi penyelenggara ad hoc terutama Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada saat hari Pemungutan dan Penghitungan Suara (P2S) dengan proses penghitungan dan pengadministrasian yang memakan waktu cukup lama, sehingga penyelenggara ad hoc terutama KPPS banyak yang mengalami kelelahan secara fisik bahkan meninggal dunia.
Perlunya penyederhanaan desain surat suara, tentunya tidak semata hanya untuk meringankan beban penyelenggara saja, namun sangat penting kiranya ini menjadi salahsatu ikhtiar juga guna memudahkan pemilih dalam melaksanakan kedaulatannya dibilik suara. Jika merujuk pada data KPU RI, tingginya data angka surat suara yang tidak sah pada pemilu tahun 2019, yakni terdapat 2,37% atau setara 3.754.905 suara pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden, 11, 12% atau setara 17.503.953 suara pada pemilu DPR RI dan 19,02% atau setara 29.710.175 suara pada pemilu DPD RI (Infografis KPU, Selasa 21 mei 2019).
Menurut hasil survei LIPI tahun 2019 dan survei Litbang Kompas tahun 2021, tingkat kesulitan pemilih dalam memberikan suara karena banyaknya surat suara yang mengakibatkan tingginya suara tidah sah. Sedangkan hasil Survei Pusat Penelitian Politik LIPI 2019, yang bertajuk “Survei Pasca Pemilu 2019; Pemilu Serentak dan konsolidasi Demokrasi”. 74% responden menyatakan pemilu serentak dengan mencoblos lima surat suara yakni Presiden, DPR, DPD, DPRD propinsi dan Kabupaten/Kota menyulitkan pemilih dan 96% responden setuju bahwa sebagian besar perhatian publik tertuju pada proses pemilu presiden dibandingkan dengan pemilu legislatif. Pun demikian berdasarkan survey yang dilakukan Litbang Kompas 2021, 82,2% responden menyatakan setuju jika KPU membuka alternatif desain surat suara dengan jumlah surat suara yang lebih sedikit.
Jika penyederhanaan surat suara dari lima jenis pemilihan menjadi satu atau dua surat suara, implikasinya tentu akan sangat berpengaruh pada efesiensi waktu saat pemungutan dan penghitungan yang bisa mengurangi beban kerja penyelenggara maupun efesiensi anggaran yang akan dipergunakan dalam pencetakan surat suara. Sebagai catatan, pada pemilu 2019 pencetakan surat suara menghabiskan anggaran sebesar Rp. 603, 34 M dengan lima jenis desain surat suara. Saat itu KPU RI berhasil menghemat belanja dengan selisih yang cukup signifikan dari pagu anggaran sebesar Rp. 291 Milyar, jika penyederhanaan surat suara terealisasi, hal ini sangat memungkinkan KPU RI untuk meghemat kembali anggaran negara yang akan dipergunakan untuk pencetakan surat suara, bahkan tidak hanya itu saja KPU RI bisa menghemat anggaran Pemilu yang dibutuhkan terutama untuk kebutuhan perlengkapan pemilu seperti kotak suara dan perlengkapan lainnya.
Penyederhaan Surat Suara, Sebuah Keniscayaan
Penyederhanaan surat suara adalah sebuah ikhtiar yang berangkat dari evaluasi dengan semangat perbaikan untuk mendapatkan surat suara yang lebih memudahkan bagi pemilih, meringankan beban kerja bagi penyelenggara serta mengefesienkan biaya yang harus dikeluarkan negara. Ikhtiar ini harus membuahkan hasil kesepakatan dan keputusan bersama, menghasilkan desain surat suara yang lebih bersahabat untuk pemilih maupun penyelenggara. Semakin cepat inovasi penyederhanaan surat suara ini menemui titik temu, maka surat suara yang akan dipergunakan pada pemilu 2024 bisa secepatnya disosialisasikan kepada masyarakat secara dini.
JIka merujuk pada model rancangan desain surat suara yang tengah dikaji lebih dalam oleh KPU RI, sangat memungkinkan pilihan yang lebih realistis adalah varian model 5 yakni penyederhanaan dari lima jenis pemilihan menjadi dua surat suara meliputi pemisahan surat suara untuk pemilihan DPD dan surat suara yang mencakup empat jenis pemilihan yakni Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD Propinsi serta DPRD Kabupaten/Kota dengan metode pemberian suara menggunakan cara mencoblos. Pilihan ini tentu belum menjadi yang sempurna, karena masih menyisakan persoalan jika melihat norma Undang-Undang Pemilu yakni terkait “pindah memilih”. Pindah memilih adalah pilihan alternatif bagi pemilih yang mengalami kondisi tertentu, regulasi mengatur untuk memilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) lain dengan konsekuensi hak memilih yang dimiliki pemilih disesuaikan dengan kondisi kepindahan pemilih, hal ini diatur dalam pasal 348 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sebuah keniscayaan penyederhanaan surat suara ini bisa digunakan pada Pemilu 2024. Hal ini harus menjadi konsentrasi dan komitmen bersama dalam merealisasikannya, karena terkait penyederhanaan surat suara selain membutukan Pemikiran yang matang, masukan dari semua unsur, uji kelayakan (simulasi) yang dapat dipertanggungjawabkan serta mesti didukung dengan politik kebijakan hukum pemilu yang konprehensif karena penyederhanaan surat suara ini bisa saja akan berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Pemilu atau mendorong hadirnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu).