Opini

Kemerdekaan dan Pemilu: Hubbul Wathan Minal Iman Perspektif Pemilu

Pada Tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno sebagai bapak proklamator bangsa dengan prinsip Nasionalismenya dengan lantang dan tegas membacakan teks proklamasi yang dihadiri oleh tokoh perumus dasar negara, kiyai, dan ribuan warga Masyarakat Indonesia bertempat di Rumah Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Nasionalisme adalah salah satu diantara banyak konsep bernegara yang banyak disinggung oleh para filsuf besar dunia, khususnya dalam diskusi political philosophy dari dulu hingga era modern saat ini. Tidak ada pengertian yang baku mengenai paham Nasionalisme. Nasionalisme menurut Hans Kohn, adalah ideologi yang meyakini bahwa loyalitas paling tinggi dari individu harus diberikan kepada negara bangsanya.  Di Indonesia sendiri ada sebuah konsep yang diyakini sebagai upaya menghidupkan semangat Nasionalisme masyarakat. Semangat ini bermula dari para tokoh ulama dan pahlawan terdahulu sebelum dan sesudah era penjajahan berlangsung. Konsep ini yang kemudian kita kenal dengan jargon “Ḥubb aL-Waṭhan Min aL-Īmān”, sebuah gagasan yang menghidupkan jiwa nasionalisme dikalangan Masyarakat. Semangat yang dibawa oleh Jargon ini tidak lain adalah semangat nasionalisme yang lahir sejak lama. Konsep ini pertama kali digagas oleh KH. Hasyim Asy’ari beserta para muassis NU pada masa itu. Yang paling dikenal diantaranya adalah KH. Wahab Chasbullah, bahkan beliau yang menuangkan konsep ini kedalam sebuah lagu yang cukup populer yaitu; “Yalal Wathon”, lagu yang sering diperdengarkan khususnya dalam acara-acara tertentu untuk membangun kesan dan semangat kaum muslimin. Ḥubb aL-Waṭhan Min aL-Īmān yang artinya “Cinta Tanah Air sebagian dari Iman” bukanlah sebuah hadist yang sebagaimana dikatakan oleh segelintir orang, melainkan sebuah konsep yang bertujuan menanamkan cinta terhadap negara dan bangsa serta tanah air Indonesia. Ḥubb aL-Waṭhan Min aL-Īmān dalam perspektif Pemilu salah satunya Partisipasi, pengertian Partipasi menurut KBBI Adalah keikutsertaan; peran serta; dalam hal tersebut warga negara Indonesia dalam kontek pemilu ada yang berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih. Sebagaimana tujuan Pemilu sebagai berikut :  Memberikan kesempatan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin dan kebijakan negara. Mewujudkan pemerintahan yang berdasarkan kehendak rakyat. Menjaga prinsip-prinsip demokrasi.  Mendorong partisipasi politik warga negara.  Memastikan pemimpin yang terpilih mewakili kepentingan dan aspirasi masyarakat. Keikutsertaan dalam aspek apapun tidak akan sukses kalau tidak Ḥubb aL-Waṭhan Min aL-Īmān. Semoga rasa cinta terhadap tanah air dalam diri kita tidak pernah padam, tidak pudar, tidak tergerus oleh paham yang dapat melunturkan rasa cinta kepada tanah air khusunya dalam pemilu. Wallahu`alam.   Cecep Hidayatussolihin Penata Kelola Pemilu Ahli Pertama  

Kemerdekaan dan Pemilu: Menjaga Warisan Perjuangan Lewat Demokrasi

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukanlah sebuah hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang penuh pengorbanan dari seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks kekinian, kemerdekaan tersebut tidak hanya dimaknai sebagai kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga sebagai ruang terbuka bagi rakyat untuk ikut serta dalam menentukan arah dan masa depan bangsa—salah satunya melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu merupakan perwujudan nyata dari kedaulatan rakyat. Dalam Pemilu, setiap warga negara yang memenuhi syarat memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Proses ini bukan sekadar rutinitas lima tahunan, melainkan sarana utama dalam menjaga semangat demokrasi dan memastikan bahwa kekuasaan dijalankan atas dasar legitimasi rakyat. Hubungan antara Pemilu dan kemerdekaan sangat erat. Pemilu adalah bentuk implementasi nilai-nilai kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa. Dengan mengikuti Pemilu, rakyat mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan politik yang menentukan masa depan negara. Melalui hak pilih, rakyat dapat memilih pemimpin yang dianggap mampu membawa kemajuan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan sosial, persatuan nasional, dan kedaulatan negara. Di sisi lain, Pemilu juga menjadi ajang pembelajaran politik bagi masyarakat. Dalam sistem demokrasi, kemerdekaan tidak hanya berarti kebebasan berpendapat, tetapi juga kebebasan untuk membuat pilihan secara sadar dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan politik menjadi sangat penting agar Pemilu tidak terjebak pada sekadar formalitas, tetapi benar-benar menjadi pesta demokrasi yang mencerminkan aspirasi rakyat. Lantas bagaimana masyarakat dapat memaknai kemerdekaan Indonesia dan Pemilu secara utuh? Memaknai kemerdekaan dalam konteks Pemilu berarti memahami bahwa kemerdekaan memberikan hak kepada setiap warga negara untuk ikut menentukan arah masa depan bangsanya. Di masa penjajahan, rakyat tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan politik. Seluruh kebijakan ditentukan oleh penguasa kolonial yang tidak memiliki tanggung jawab kepada rakyat. Maka, ketika Indonesia merdeka, salah satu tonggak penting yang ditegakkan adalah prinsip kedaulatan rakyat, yakni kekuasaan yang berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hak memilih dan dipilih dalam Pemilu adalah bentuk aktualisasi dari prinsip tersebut. Setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang suku, agama, gender, atau status sosial, memiliki kedudukan yang sama dalam menentukan siapa yang layak memimpin dan mewakili aspirasi mereka. Inilah bentuk keadilan demokratis yang tidak mungkin terwujud tanpa kemerdekaan. Lebih jauh, memaknai kemerdekaan dalam Pemilu juga berarti menjaga kualitas dan integritas prosesnya. Pemilu yang rentan terhadap manipulasi, politik uang, hoaks, dan intimidasi merupakan ancaman nyata terhadap esensi kemerdekaan. Praktik-praktik tersebut sejatinya adalah bentuk penjajahan gaya baru, di mana suara rakyat kembali dibungkam, bukan oleh kekuatan asing, tetapi oleh kekuatan internal yang mengabaikan etika dan nilai demokrasi. Kemerdekaan sejati menuntut adanya kesadaran kolektif bahwa Pemilu adalah amanah, bukan semata-mata hak, tetapi juga tanggung jawab. Rakyat yang merdeka adalah rakyat yang berpikir kritis, memilih dengan pertimbangan rasional, dan menolak segala bentuk penyimpangan dalam proses demokrasi. Begitu pula para Penyelenggara dan Peserta Pemilu, mereka memiliki kewajiban moral untuk menjaga kepercayaan publik dengan menyelenggarakan Pemilu secara jujur, adil, dan transparan. Dalam konteks ini, Pemilu menjadi cermin kualitas kemerdekaan kita hari ini. Jika pemilu berlangsung damai, berintegritas, dan mampu melahirkan pemimpin yang amanah, maka kita telah menunjukkan bahwa kemerdekaan yang diwariskan para pendiri bangsa tidak disia-siakan. Sebaliknya, jika Pemilu dicederai oleh kepentingan sempit dan praktik-praktik kotor, maka sesungguhnya kita sedang mengkhianati semangat perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai penutup tulisan ini maka pemaknaan kemerdekaan dan Pemilu tidak dapat dipisahkan. Setiap lapisan masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga makna kemerdekaan melalui partisipasi aktif dalam Pemilu—bukan hanya saat mencoblos, tetapi juga dengan turut serta mengawasi jalannya proses, menyebarkan informasi yang benar, serta mendorong terciptanya ruang demokrasi yang sehat. Kemerdekaan dan Pemilu adalah dua pilar yang saling menopang. Tanpa kemerdekaan, tidak akan ada ruang bagi Pemilu yang demokratis. Tanpa Pemilu yang berkualitas, nilai-nilai kemerdekaan pun kehilangan maknanya. Maka, dalam setiap Pemilu yang kita jalani, kita sebenarnya sedang memperingati dan memaknai kemerdekaan dalam bentuk yang paling nyata: menjadi rakyat yang berdaulat.   Prusut Papandrio Penata Kelola Pemilu Ahli Pertama  

Menjadi ASN KPU: Tanggung Jawab, Tantangan, dan Tekad Kami

Padamu negeri, kami berjanji Padamu negeri, kami berbakti Padamu negeri, kami mengabdi Bagimu negeri, jiwa raga kami Mendapat panggilan ‘pengabdian’ kerap menjadi alasan utama Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk akhirnya memilih jalan menjadi pelayan rakyat. Dengan menanggalkan kepentingan pribadi maupun golongan dan mengutamakan kepentingan rakyat, mencerminkan bahwa ASN bukan sekadar sebuah profesi, tetapi sebagai bentuk pengabdian rasa cinta tanah air terhadap bangsa Indonesia. Keadaan inilah yang menunjukkan bahwa ASN erat kaitannya dengan demokrasi di Indonesia. Adapun demokrasi bukan merupakan alat politik atau instrumen elit dalam mendapatkan kekuasaan, melainkan sebuah kedaulatan yang dimiliki rakyat untuk menentukan arah masa depan bangsa. Komisi Pemilihan Umum (KPU) hadir sebagai pencetak sejarah demokrasi di Indonesia. Tanpa KPU, demokrasi di Indonesia akan pincang dan kepercayaan publik akan runtuh. KPU bertugas sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) di setiap periodenya dari Pemilihan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kab/Kota), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, hingga Bupati dan Wakil Bupati. Tidak hanya bertanggung jawab secara teknis, KPU juga berperan menjaga marwah demokrasi dan legitimasi rakyat. ASN KPU bertekad menjaga nilai-nilai yang berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif (BerAKHLAK) yang berlandaskan profesionalisme, integritas, dan transparan. Tentunya partisipasi aktif dari rakyat menjadi poin penting demi terciptanya Pemilu yang adil dan bermartabat. Kualitas dari Pemilu pun akan berbanding lurus dengan citra demokrasi Indonesia di mata internasional. Lagu “Bagimu Negeri” karya Kusbini yang bergema di Aula Gedung Jalan Garut Nomor 11 kemarin bukan sekadar syair patriotik, tetapi lagu tersebut juga berhasil menjadi momentum untuk kami, CPNS Provinsi Jawa Barat 2024, menyatukan tekad dan semangat dalam menjalankan tugas menjadi ASN KPU kedepannya. Dengan ini, perjalanan kami dalam mengukir sejarah demokrasi di Indonesia pun telah dimulai. KPU Melayani, CPNS Provinsi Jawa Barat 2024.

Hasyim Asyari - PEMILU Sebagai Sarana Integrasi Bangsa

Resmi sudah dimulainya awal tahapan Pemilu 2024, Selasa (14/6/2022). Melalui prosesi Peluncuran Tahapan dan Jadwal Pemilihan Umum Tahun 2024 yang berlangsung meriah, menandai masuknya proses pemilu, yang hari pemungutan suaranya jatuh pada Rabu 14 Februari 2024 tersebut. Penting kita bersama-sama berkomitmen menjadikan pemilu sebagai sarana integrasi bangsa. Meskipun pemilu arena kompetisi, arena konflik sah dan legal namun sebagai wujud dari kemajemukan dan Bhinneka Tunggal Ika maka sudah sepatutnya proses demokrasi lima tahunan ini menjadi sarana integrasi bangsa. Demikian sepenggal ajakan KPU RI, Hasyim Asy’ari saat menyampaikan sambutan Peluncuran Tahapan & Jadwal Pemilihan Umum 2024. Hasyim melanjutkan, ditambah desain kepemiluan yang mengusung pemilu serentak, dimana pada pemilu legislatif, partai politik selain berjuang untuk meraih suara dan kursi secara alami akan bergabung, berkoalisi untuk bersama mengusung pasangan calon presiden yang sama. Juga pada proses pemilihan kepala daerah parpol akan berangkul kembali, berkoalisi, bergabung mengusung calon kepala daerah. “Desain kepemiluan semacam ini, bahwa pemilu betul terjadi konflik, kompetisi tapi akan menjadi sarana kita mengendalikan diri untuk menjamin bahwa kompetisi itu berujung pada integrasi,” kata Hasyim. (dM)

PENYELENGGARAAN PEMILU SEBAGAI INVESTASI

Bagi banyak pandangan, pendanaan Pemilu seringkali dianggap menguras keuangan Negara. Penyelenggaraan Pemilu (Presiden dan Legislatif) bersumber dari APBN, serta Pemilihan Kepala Daerah yang bersumber dari APBD, selalu menjadi momok yang diperbincangkan publik. Apalagi saat ini, ketika kondisi pandemik, maka anggaran Negara akan terfokus untuk mengatasi permasalahan kesehatan dan pemulihan ekonomi rakyat yang terimbas pandemik. Untuk mempersiapkan Pemilu dan Pemilihan serentak Tahun 2024, KPU telah mengajukan kebutuhan anggaran sebesar 76,6 Triliun Rupiah yang bersumber dari APBN dan 26,2 Triliun Rupiah dari APBD, atau total 102,8 Triliun Rupiah untuk 4 (empat) tahun anggaran 2022 sd 2025. Angka ini masih dianggap terlalu fantastis oleh berbagai pihak, ditengah kondisi keuangan Negara yang belum stabil mengatasi prioritas pembangunan nasional lainya. Namun, dalam perspektif yang berbeda, anggaran Penyelenggaran Pemilu mestinya dianggap sebagai sebuah investasi. Karena kegagalan penyelenggaran Pemilu akan berakibat pada resiko hancurnya tatanan kehidupan politik dan demokrasi Indonesia. Anggaran Negara yang telah digunakan untuk pembangunan diberbagi sektor, akan mengalami kerusakan ketika Pemilu gagal menghasilkan suksesi kepemimpinan nasional dan daerah yang legitimate. Ancaman konflik horizontal, dan pengakuan dunia internasional terhadap demokrasi Indonesia merupakan resiko gagalnya Pemilu di Indonesia. Resiko kerugian bangsa dan Negara Indonesia akan lebih besar nilainya, jika dibandingkan dengan jumlah anggaran yang akan alokasikan untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. Bahkan keutuhan dan eksistensi NKRI menjadi taruhan, ketika penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan seretak Tahun 2024 gagal. Padahal, semua progam pembangunan yang dilakukan saat ini adalah demi keutuhan NKRI. Menjadi ironis, ketika semua daya dan upaya pembangunan untuk integrasi bangsa, harus dipertaruhkan dengan resiko kegagalan demokrasi hanya karena kita mengabaikan investasi jangka panjang untuk keberlanjutan Indonesia sebagai sebuah Negara yang berdaulat. Strategi investasi Negara dalam pendanaan penyelenggaraan pemilu yang dilakukan KPU adalah melalui penguatan berbagai program prioritas nasional dalam aktivitas persiapan dan penyelenggaraan Pemilu. Sehingga anggaran penyelenggaran Pemilu 2024, tidak semata-mata hanya sebatas membiayai teknis penyelenggaraan Pemilu yang habis pakai, namun berkontribusi pada berbagai program prioritas nasional yang pada ujungnya merupakan investasi integrasi NKRI dalam jangka panjang. " Pemulihan Ekonomi Nasional  " Salah satu focus anggaran Pemerintah disaat dan pasca pandemik Covid-19, adalah pemulihan ekonomi nasional, antara lain melalui peningkatan daya beli dan prokduktivitas rumah tangga. Upaya ini dilakukan melalui stimulus bantuan kepada masyarakat dan investasi padat karya. Dalam skema anggaran KPU untuk Pemilu dan Pemilihan 2024, juga merupakan bagian dari program prioritas pemulihan ekonomi nasional. Dari total anggaran penyelenggaran Pemilu dan Pemilihan 2024, tercatat 52 Triliun Rupiah dialokasikan untuk honor/gaji bagi sekitar 8 (delapan) juta orang aparatus KPU. Artinya, 51 % anggaran Pemilu dan Pemilihan kembali kepada masyarakat (Penyelenggara Pemilu dari pusat hingga desa/kelurahan dan TPS), dan menjadi bagian dari peningkatan daya beli dan prokduktivitas rumah tangga untuk 4 Tahun (2022, 2023, 2024 dan 2025). Selain alokasi 51 % anggaran kembali kepada masyarakat, penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan juga menstimulus usaha padat karya masyarakat kecil dan menengah, melalui aktivitas kepemiluan antara lain pencetakan, printing dan usaha lainya yang mendukung kampanye dan sosialisasi pemilu/pemilihan. " Kesadaran Politik Masyarakat " Peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia merupan program prioritas pembangunan Indonesia. Dalam pengagaran Pemilu, investasi sumber daya manusia juga merupakan bagian penting dengan menciptakan penyelenggara pemilu yang merupakan aparatus KPU sekitar 8 (delapan) juta orang yang memahami demokrasi sebagai intrumen integrasi bangsa. Selain itu, adanya aktivitas pendidikan politik kepada masyarakat yang dilakukan peserta pemilu baik Partai Politik, pasangan Calon Presiden/Wapres, Kepala Daerah/Wakada dan calon Anggota Legislatif, menjadi bagian penting dalam peningakatan kesadaran politik masyarakat. Peningkatan sumber daya manusia dalam pemilu merupakan investasi program peningkatan kapasitas untuk aparatus penyelenggara pemilu, masyarakat ataupun para calon pemimpin bangsa dalam hal pemilu dan demokrasi. Investasi sumber daya manusia ini pada dasarnya untuk membentuk karakter bangsa melalui masyarakat yang melek politik dengan baik dan benar. " Teknologi Informasi " Di era digitalisasi secara global saat ini, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai program prioritas nasional yang terkait dengan tekhnologi informasi untuk mempercepat pelayanan publik dan transformasi ekonomi nasional. Program digitalisasi nasional melalui tekhnologi informasi dan komunikasi, dilaksanakan oleh semua sektor pembangunan. Tujuannya adalah agar masyarakat dan pemerintah cepat adaptif terhadap lingkungan global dalam berbagai sendi kehidupan. Dalam hal tekhnologi informasi, pendanaan penyelenggaran Pemilu 2024 menjadi bagian penting dan strategis. Selain mendorong infrastruktur tekhnologi informasi dan komunikasi kepemiluan diseluruh wilayah Indonesia, KPU juga berkontribusi dalam peningkatan kualitas kepercayaan publik terhadap kebijakan yang berbasis dari tekhnologi informasi. Setidaknya akan ada sekitar 1 (satu) juta titik TPS yang melakukan digitalisasi proses dan hasil Pemilu/Pemilihan, yang dioperasionalisasikan oleh 8 (delapan) juta orang aparatus KPU dalam waktu yang sama. Salah satu tantangan dalam adapatasi budaya digital ditengah masyarakat adalah kepercayaan publik. Oleh karenanya, KPU tidak hanya membangun sarana dan prasarana tekhnologi informasi yang dapat dimanfaatkan pasca Pemilu/Pemilihan, tetapi juga menciptakan budaya digital secara kolosal dalam pengambilan keputusan politik sebagai bagian pengejawantahan kedaulatan rakyat untuk memmperkuat integrasi bangsa. " Pendapatan Negara " Pendanaan untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024, juga merupakan bagian dari investasi keuangan Negara. Salah satu item anggaran Pemilu/Pemilihan adalah untuk Logistik Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024. Dimana logistik Pemilu/Pemilihan menjadi Barang Milik Negara (BMN), yang tidak sepenuhnya barang habis pakai. BMN Logistik pemilu/pemilihan sebagian besar dapat dimanfaatkan kembali melalui mekanisme lelang pasca pemilu/pemilihan, sehingga menjadi bagian dari pendapatan keuangan Negara. Dalam catatan KPU hingga awal bulan November 2021, telah berkontribusi pada pendapatan keuangan Negara sekitar 200 Milyar Rupiah hasil lelang Logistik Pemilu 2019 dan Pemilihan 2020. Catatan pendapatan Negara ini belum seluruh Logistik Pemilu 2019 dan Pemilihan 2020 yang dilakukan lelang (sebagian sedang proses). Berangkat dari catatan – catatan singkat diatas, artinya anggaran penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan bukanlah anggaran yang habis pakai atau menghabur-hamburkan uang rakyat. Namun merupakan investasi yang dikeluarkan Negara untuk pengurangan risiko bencana demokrasi, sehingga dapat menyelamatkan aset yang bernilai lebih besar yakni integrasi bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bernad Dermawan Sutrisno, Sekjen KPU-RI.

Redesain Surat Suara, Sebuah Ikhtiar menuju Demokrasi Elektoral yang Lebih Berkualitas

2024 akan menjadi sejarah baru bagi bangsa Indonesia, betapa tidak di awal tahun 2024 akan kembali diselenggarakan pesta demokrasi lima tahunan yakni Pemilihan Umum serentak yang secara konstitusional termuat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 22E ayat (2) yang meliputi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang selanjutnya dalam pengelolaan dan mekanisme Pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum_ dan diakhir tahun 2024 akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati maupun Walikota dan Wakil Walikota pertama kali secara serentak di seluruh wilayah di Indonesia pada bulan Nopember 2024 yang secara eksplisit disebutkan dalam bunyi pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.   Dalam menyongsong tahun politik di 2024, sampai saat ini KPU RI telah menyusun simulasi tahapan yang tengah diajukan untuk disepakati bersama oleh Pemerintah dan DPR RI. Selain menyusun tahapan yang apik karena sangat rentan beririsan waktu dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah, KPU RI terus berikhtiar guna menyuguhkan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan Pemilu agar lebih baik dan berkualitas. Salahsatu dari beberapa upaya pembenahan yang dilakukan KPU RI adalah penyederhanaan atau redesain surat suara yang akan dipergunakan pada Pemilihan Umum 2024 nanti.   Surat suara merupakan salah satu perlengkapan dalam tahapan pemungutan suara. Melalui kertas suara pemiliih menggunakan kedaulatannya untuk memilih pemimpinnya_ dan dari pilihan inilah kemudian yang akan dihitung untuk menentukan siapa pemenang pemilu yang selanjutnya akan diumumkan kepada masyarakat. Ada empat signifikansi dari surat suara, menurut The International IDEA dalam workshop yang berjudul “The Ballot- A simple piece of paper or an instrument of power?” yaitu; (1) sebagai sarana “tatap muka” antara kandidat dan konstituennya (pemilih), sebagai sarana untuk menentukan pilihan politik masyarakat, (3) sebagai dasar untuk menghitung dan mengalokasikan kursi pemenang pemilu, dan (4) sebagai artefak sejarah.   Surat Suara dari Masa ke Masa Sepanjang sejarah, Bangsa Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum sebanyak 12 kali, yakni pemilu pertama digelar pada tahun 1955, selanjutnya 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 dan pemilu terakhir pada tahun 2019. Surat suara yang dipergunakan sebagai media penghubung antara calon (kandidat) dan pemilih (konstituen) dari Pemilu ke Pemilu mengalami dinamika perubahan seiring mengikuti sistem pemilihan yang dipergunakan pada saat Pemilu. Pada pemilu pertama tahun 1955, surat suara berisi nomor urut dan gambar partai serta nama calon perseorangan. Metode pemberian suara diberikan dua pilihan yakni dengan cara menusuk (mencoblos) dan atau menulis sesuai dengan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Masing-masing satu surat suara yang dipergunakan pada Pemilihan DPR pada 29 September 1955 dan satu surat suara pada Pemilihan Badan Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu tahun 1971, surat suara meliputi tiga surat suara yang masing-masing berisi nomor urut, nama dan gambar partai. Metode pemberian suara dengan cara mencoblos untuk pemilihan DPR, DPRD I dan DPRD II sesuai pada Pasal 21 ayat (6) Undang-Undang nomor 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Pun demikian pada pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 suarat suara meliputi nomor urut, nama dan gambar partai. Metode pemberian suara dengan cara yang sama yakni mencoblos. Pada pemilu 1999, surat suara meliputi tiga surat suara yang terdiri dari pemilihan DPR, DPRD I dan DPRD II, setiap surat suara berisi nomor urut dan gambar partai politik dengan metode pemberian suara menggunakan cara mencoblos sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, sedangkan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti pada pemilu sebelum-sebelumnya yang dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu legislatif. Pemilu tahun 2004, merupakan sejarah pertama bagi Indonesia pemilihan legislatif meliputi DPR, DPRD Propinisi dan Kabupaten/Kota ditambah dengan hadirnya pemilihan perwakilan daerah yakni DPD yang dipilih langsung oleh rakyat secara bersamaan serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pertama kali dipilih langsung oleh rakyat. Pada Pemilu Legislatif pemilih disuguhkan empat surat suara secara bersamaan meliputi tiga surat suara berisi nomor urut dan gambar partai serta nomor urut dan nama calon untuk Pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta satu surat suara berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk Pemilihan DPD. Sedangkan satu surat suara berisi nomor urut, nama dan foto calon serta gambar partai yang dipergunakan pada waktu yang berbeda pada Pemihan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pemberian suara pada semua jenis pemilihan dengan cara mencoblos mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2000 tentang  perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pemilu tahun 2009, surat suara sama dengan pemilu 2004, yang membedakan hanya pada pemberian suara dengan cara mencontreng sesuai dengan undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD_ Dan pada Pemilu 2014, sesuai dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, surat suara pada pemilihan legislatif meliputi tiga surat suara berisi nomor urut, nama dan gambar partai serta nomor urut dan nama calon pada pemilihan DPR, DPRD Propinsi DPRD Kabupaten/Kota serta satu surat suara berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk pemilihan DPD. Sedangkan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, satu surat suara berisi nomor urut, nama, foto dan gambar partai. Metode pemberian suara pada pemilu 2014 kembali menggunakan cara mencoblos. Pada Pemilu 2019, sejarah baru kembali tercatat, pertama kali bagi Indonesia pemilu dengan menggunakan lima surat suara secara serentak dalam waktu yang bersamaan. Surat suara dengan lima jenis pemilihan meliputi tiga surat suara yang berisi nomor urut, nama dan gambar partai serta nomor urut dan nama calon untuk pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; satu surat suara berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk pemilihan DPD dan satu surat suara berisi nomor urut, nama, foto dan gambar partai untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mencobos adalah cara yang dipergunakan pemilih dalam memberikan suaranya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Selain desain surat suara yang mengalami perubahan mengikuti setiap perubahan pada sistem pemilihan. Pemberian suara oleh pemilih yang menggunakan kedaulatannya dibilik suara pun mengalami dinamika dalam sejarah pemilu di Indonesia. Mencoblos, mungkin cara pemberian suara yang lebih familiar dibenak rakyat Indonesia, padahal Indonesia pernah pula menerapkan metode pemberian suara dengan cara “menulis” pada tahun 1955 yang saat itu pemiih diberikan dua pilihan yakni mencoblos atau menulis, pun demikian pada tahun 2009 pernah Pemilu di Indonesia pernah menerapkan metode pemberian suara dengan cara “mencontreng”.   Pilihan Desain Surat Suara Sedianya ada enam pilihan rancangan penyederhanaan desain surat suara yang dirancang KPU RI sebagai bahan kajian dan simulasi yang kemudian akan diusulkan sebagai pilihan surat suara yang akan dipergunakan pada pemilu 2024. Terakhir, dalam webinar bertajuk “Sosialisasi Rencana Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024” yang diselenggaraan KPU Propinsi Jawa Barat, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaran KPU RI Evi Novida Ginting Manik dalam sosialisasinya menyampaikan bahwa dari hasil kajian mendalam serta masukan dari berbagai unsur, tiga dari enam pilihan rancangan desain surat suara yang menjadi prioritas usulan yakni terdiri dari model 1, model 5 dan model 6. Model 1 yakni rancangan penyederhanaan surat suara yang menggabungkan lima jenis pemilihan dalam satu surat suara yang berisi nomor urut, nama, foto calon dan gambar partai untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta kolom isian yang memuat nomor urut dan jenis pemilihan yang masing-masing terpisah baik pemilihan Presiden dan wakil Presiden, DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota maupun DPD. Adapun metode pemberian suara dengan cara “menuliskan” nomor urut calon pada kolom yang disediakan. Sedangkan model 5 yakni penyederhanaan dari lima jenis pemilihan kedalam dua surat suara meliputi empat jenis pemilihan dalam satu surat suara berisi nomor urut, nama, foto calon dan gambar partai untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; no urut dan gambar partai serta nomor urut dan nama calon masing-masing untuk pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan satu suara yang terpisah berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk pemilihan DPD. Metode pemberian suara menggunakan cara “mencoblos” pada nomor urut, nama calon, foto calon, dan atau gambar partai. Lalu, rancangan surat suara model 6 yakni penyederhanaan dari lima jenis pemilihan menjadi dua surat suara meliputi empat jenis pemilihan dalam satu surat suara yang berisi nomor urut, nama, foto pasangan calon dan gambar partai untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; nomor urut dan gambar partai serta nomor urut calon untuk masing-masing kolom pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk satu surat suara yang terpisah berisi nomor urut, nama dan foto calon untuk pemilihan DPD. Metode pemberian suara pada model ini dengan cara “mencontreng” pada nomor urut, foto dan atau gambar partai.   Surat Suara pada Pemilu di Negara Lain Dalam konteks penyederhanaan surat suara, terdapat beberapa negara yang sudah menggunakan surat suara yang menggabungkan beberapa jenis pemilihan. Amerika serikat sebagai negara demokrasi dan berteknologi maju dalam pemilu terakhir pada tahun 2020 menggunakan satu surat suara yang meliputi beberapa jenis pemilhan. selain memilih calon presiden, pemilih juga sekaligus memilih wakil yang menempati Senat, Dewan Perwakilan dan Mahkamah Agung yang ada dalam satu surat suara. Selain sistem pemilihan yang berbeda dengan Indonesia, metode pemberian suara yang digunakan Amerika yakni menggunakan teknologi e-voting, dalam pemberian suaranya pemilih mengisi lingkaran kosong yang terletak disebelah nama kandidat dengan menggunakan pena hitam, dan selanjutnya mesin akan membaca titik hitam serta menghitungnya dengan cepat. Pada pemilu 2016 di Filipina, pemilih diberikan selembar surat suara yang terdiri dari dua permukaan sebagai media dalam pemberian suaranya. Permukaan pertama berisi pilihan ragam calon personal dan permukaan kedua ragam pilihan partai politik. Filipina menggabungkan sebelas jenis pemilihan kedalam satu surat suara yang meliputi Pemilihan Presiden, Wakil Presiden, Senator, Anggota Perwakilan Rakyat jalur perseorangan, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota Dewan Propinsi, Walikota, Wakil Walikota dan Konselor serta satu jenis pemilihan pada permukaan kedua untuk memilih Lembaga Perwakilan Unsur Partai yang berisi nomor urut dan nama partai. Dalam pemberian suara, pemilih mengisi salahsatu kolom nama kandidat pada surat suara, kemudian surat suara akan dipindai (scan) oleh perangkat computer yang langsung mendata pilihan ke dalam tabulasi data.     Urgensi Redesain Surat Suara Lantas sejauh mana urgensinya penyederhanaan atau re-desain surat suara yang kemudian akan dipergunakan pada pemilu 2024 nanti. Pemilu 2019, memberikan catatan yang kembali mengingatkan kita tentang bagaimana beban kerja yang tinggi penyelenggara ad hoc terutama Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada saat hari Pemungutan dan Penghitungan Suara (P2S) dengan proses penghitungan dan pengadministrasian yang memakan waktu cukup lama, sehingga penyelenggara ad hoc terutama KPPS banyak yang mengalami kelelahan secara fisik bahkan meninggal dunia. Perlunya penyederhanaan desain surat suara, tentunya tidak semata hanya untuk meringankan beban penyelenggara saja, namun sangat penting kiranya ini menjadi salahsatu ikhtiar juga guna memudahkan pemilih dalam melaksanakan kedaulatannya dibilik suara. Jika merujuk pada data KPU RI, tingginya data angka surat suara yang tidak sah pada pemilu tahun 2019, yakni  terdapat 2,37% atau setara 3.754.905 suara pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden, 11, 12% atau setara 17.503.953 suara pada pemilu DPR RI dan 19,02% atau setara 29.710.175 suara pada pemilu DPD RI (Infografis KPU, Selasa 21 mei 2019). Menurut hasil survei LIPI tahun 2019 dan survei Litbang Kompas tahun 2021, tingkat kesulitan pemilih dalam memberikan suara karena banyaknya surat suara yang mengakibatkan tingginya suara tidah sah. Sedangkan hasil Survei Pusat Penelitian Politik LIPI 2019, yang bertajuk “Survei Pasca Pemilu 2019; Pemilu Serentak dan konsolidasi Demokrasi”. 74% responden menyatakan pemilu serentak dengan mencoblos lima surat suara yakni Presiden, DPR, DPD, DPRD propinsi dan Kabupaten/Kota menyulitkan pemilih dan 96% responden setuju bahwa sebagian besar perhatian publik tertuju pada proses pemilu presiden dibandingkan dengan pemilu legislatif. Pun demikian berdasarkan survey yang dilakukan Litbang Kompas 2021, 82,2% responden menyatakan setuju jika KPU membuka alternatif desain surat suara dengan jumlah surat suara yang lebih sedikit. Jika penyederhanaan surat suara dari lima jenis pemilihan menjadi satu atau dua surat suara, implikasinya tentu akan sangat berpengaruh pada efesiensi waktu saat pemungutan dan penghitungan yang bisa mengurangi beban kerja penyelenggara maupun efesiensi anggaran yang akan dipergunakan dalam pencetakan surat suara. Sebagai catatan, pada pemilu 2019 pencetakan surat suara menghabiskan anggaran sebesar Rp. 603, 34 M dengan lima jenis desain surat suara. Saat itu KPU RI berhasil menghemat belanja dengan selisih yang cukup signifikan dari pagu anggaran sebesar Rp. 291 Milyar, jika penyederhanaan surat suara terealisasi, hal ini sangat memungkinkan KPU RI untuk meghemat kembali anggaran negara yang akan dipergunakan untuk pencetakan surat suara, bahkan tidak hanya itu saja KPU RI bisa menghemat anggaran Pemilu yang dibutuhkan terutama untuk kebutuhan perlengkapan pemilu seperti kotak suara dan perlengkapan lainnya.   Penyederhaan Surat Suara, Sebuah Keniscayaan Penyederhanaan surat suara adalah sebuah ikhtiar yang berangkat dari evaluasi dengan semangat perbaikan untuk mendapatkan surat suara yang lebih memudahkan bagi pemilih, meringankan beban kerja bagi penyelenggara serta mengefesienkan biaya yang harus dikeluarkan negara. Ikhtiar ini harus membuahkan hasil kesepakatan dan keputusan bersama, menghasilkan desain surat suara yang lebih bersahabat untuk pemilih maupun penyelenggara. Semakin cepat inovasi penyederhanaan surat suara ini menemui titik temu, maka surat suara yang akan dipergunakan pada pemilu 2024 bisa secepatnya disosialisasikan kepada masyarakat secara dini. JIka merujuk pada model rancangan desain surat suara yang tengah dikaji lebih dalam oleh KPU RI, sangat memungkinkan pilihan yang lebih realistis adalah varian model 5 yakni penyederhanaan dari lima jenis pemilihan menjadi dua surat suara meliputi pemisahan surat suara untuk pemilihan DPD dan surat suara yang mencakup empat jenis pemilihan yakni Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD Propinsi serta DPRD Kabupaten/Kota dengan metode pemberian suara menggunakan cara mencoblos. Pilihan ini tentu belum menjadi yang sempurna, karena masih menyisakan persoalan jika melihat norma Undang-Undang Pemilu yakni terkait “pindah memilih”. Pindah memilih adalah pilihan alternatif bagi pemilih yang mengalami kondisi tertentu, regulasi mengatur untuk memilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) lain dengan konsekuensi hak memilih yang dimiliki pemilih disesuaikan dengan kondisi kepindahan pemilih, hal ini diatur dalam pasal 348 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebuah keniscayaan penyederhanaan surat suara ini bisa digunakan pada Pemilu 2024. Hal ini harus menjadi konsentrasi  dan komitmen bersama dalam merealisasikannya, karena terkait penyederhanaan surat suara selain membutukan Pemikiran yang matang, masukan dari semua unsur, uji kelayakan (simulasi) yang dapat dipertanggungjawabkan serta mesti didukung dengan politik kebijakan hukum pemilu yang konprehensif karena penyederhanaan surat suara ini bisa saja akan berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Pemilu atau mendorong hadirnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu).